Saturday 6 September 2014

September "Ceria"

        Tulisan tersurat ini penuh dengan siratan dan juga ungkapan yang tak kuasa diungkapkan. Dua tahun yang lalu, di bulan ke sembilan yang khas dengan keceriaannya, aku berada di posisi paling tersudut dan terisolasi. Terbuang, terkulai dalam ketakberdayaan yang digerogoti oleh kegelapan. Ya, tujuh ratus dua puluh hari telah berlalu. Sumpah serapah yang berisi lontaran karma saat itu sudah tertutup rapat.
_____Pengkhianatan yang begitu sukses meremukkan seluruh jiwa ragaku telah mati. Tak ada lagi air mata. Tak adalagi  pengharapan yang berujung pada kekosongan. Semua penderitaan kejam itu telah berlalu. Aku turut serta memeriahkan September Ceria secara nyata. Sementara.
          Hari ini di awal bulan September, aku kembali berduka. Kembali terisolasi dalam kesendirian dalam artian benar-benar sendiri. Dalam kasus yang sama tapi beda. Bukan soal pengkhianatan tapi pengertian. Hubungan yang telah berjalan enam belas bulan ini patut untuk dipertanyakan. Mungkinkah kita dapat bertahan?
       Mari kita luruskan. Dalam persepsi sama diantara aku dan kamu adalah sama. Untuk frekuensi biasanya. Tapi, biasanya tak selalu sama, dan kutemukan perbedaan itu hari ini. Ketidakpahaman antara jenuh, penat, atau bosan membuatku mengolah kejadian demi kejadian. Satu tahun berada dalam hubungan jarak jauh membuatku terbiasa akan keterbatasan waktu dan tempat yang kita miliki. Membuatku paham bahwa cinta memang membutuhkan pengorbanan dan juga perjuangan untuk mempertahankan. Lalu apa yang terjadi? kita berhasil! kita berhasil melewati itu, sayang. Melewati semua perbedaan, segala terpaan dari luar dan juga dalam. Sesuai rencana, sesuai impian. Namun, tidakkah kamu berpikiran sama bahwa kita dapat melewati fase selanjutnya dalam hubungan yang serba berbatas ini?
     _   Dalam pemahaman kita satu sama lain, yang selalu sibuk masing-masing. Akankah hal serupa akan terlewati dengan lamanya waktu yang tak kita ketahui? 
Aku mempertanyakan kesanggupan akan segala perbedaan, kepenatan yang pasti akan datang, dan segala hal lain yang mengguncangkan ketangguhan hubungan. Roda waktu terus berputar, dalam naungan penuh cemas Tuhan berkehendak lain. Kita yang dulu dekat lalu terpisah, kini didekatkan kembali. Betapa bahagianya aku dengan berita itu. Lalu aku dan kamu merayakannya dengan serangkaian mimpi yang akan diraih dan dilakukan bersama-sama. Bersorak ceria menyatakan bahwa pemberian kebersamaan dari yang Maha Kuasa ini tak akan terbuang sia-sia.
_____Rupanya mimpi yang berupa titik terang itu mulai meredup. Karena ketidakpastian akan pencapaiannya. Semua keadaan perlahan berubah secara signifikan. Dalam kebersamaan kami tidak benar-benar bersama. Sibuk dan tenggelam di dunia masing-masing. Seperti biasa yang tidak biasanya. Dalam artian yang  lagi, berbeda. Dan kini aku paham mengapa persamaan dalam matematika selalu menghasilkan angka yang berbeda. 
______Aku. Berada dalam titik terendah dalam upaya mempertahankan. Terlarut dalam keegoisan dan tak mau tahu. Aku lelah untuk terus berada di dalam kondisi seperti ini. Sibuklah kamu dengan duniamu. Tanpa harus mengabarkanku. Tanpa menuntut perhatian dan pengertian. Dan biarkan aku benar-benar sendiri, juga dengan duniaku dan kesenyapan yang aku miliki, yang tak akan pernah kamu tahu bagaimana menempati kesenyapan itu. Tetaplah bersama keluguan dan kata maafmu yang hanya maaf saja. Juga perjuanganmu yang hanya sebatas kata saja.
______Setidaknya aku paham bahwa yang dulu tak akan pernah menjadi sekarang. Jauh tak selalu memisahkan, dekat tak selalu mendekatkan. Sama tak akan  selamanya menjadi sama. Api yang membara perlahan akan menjadi padam. Kini, hanya tinggal kunikmati saja suasana ini secara hikmad dan bijaksana.
______Dan. 
______Untuk Septemberku yang ceria,
______Aku tidak mengerti darimana keceriaan itu datang di bulan ini. 

Friday 11 April 2014

Terserahlah, Aku Capek!

Aku bosan. Aku tidak mau tahu-menahu lagi soal dirimu yang datang dan pergi  tanpa memberi arti. Aku bosan dengan semua percakapan kita sehari-hari . Aku bosan dengan setiap keadaan yang membawaku pada pertanyaan tentang sebuah kepastian. Aku bosan dengan setiap keadaan yang membawamu pada pernyataan ‘suatu hari nanti’.

Aku dan kamu saling berbagi.  Setiap kisah yang mampu membuatku terlarut didalamnya. Kebahagiaan dan kesedihan yang mewarnai perjalanan tanpa ‘arti’ ini membawaku ke hilir yang dipenuhi kekosongan.  Setiap lontaran pertanyaan orang mengenai status yang kujawab dengan senyuman hanya membuatku semakin lelah.

Kamu tahu tidak?
Bahwa selama perjalanan bersama antara aku dan kamu selama dua tahun ini sudah cukup membuatku terjerat dalam perasaan paling mutlak. Perasaan yang membuatku jatuh bangun mengejar kepastian. Memangnya waktu tak terus bergulir apa? Memangnya dikondisikan seperti ini enak apa? Senyaman-nyamannya, sebahagia-bahagianya kita tanpa status ini akan membawanya pada sebuah pertanyaan. Aku ini apa dan siapa untukmu disamping kamu ini apa-apa dan siapa-siapa untukku.

Dan apakah kita? Mau berlanjut begini saja?
Ibarat lampu remang-remang, itulah kamu. Menjanjikan kepastian tapi tak memberi kepastian. Aku tahu, aku tahu. Kamu bisa bertindak sesuka hati karena banyaknya wanita yang menghampiri. Kamu bisa tertawa lepas dengan dada yang lapang untuk menerima kondisi kamu yang membahagiakan dan memperburuk keadaanku. Kau sangat, sangat dipuja. Tak berarti kamu tak bersikap dewasa dengan menelantarkanku begitu saja. Mungkin aku tak berhak berbicara seperti ini. Tapi aku wanita yang sudah terlanjur sayang karena ulahmu sendiri, sayang.

Seharusnya jika kamu memang tak menyimpan perasaan dari awal mengapa tak kau biarkan diriku pergi saja? Atau mengapa kamu tak bilang dari awal dan abaikanlah diriku. Jangan terlalu banyak alasan untuk menyangkal pelakuanmu terhadapku tanpa pertanggungjawabanmu atas hasil ini. Kamu telah berhasil mencabik-cabik perasaanku dengan permainanmu yang luar biasa. Terimakasih atas cinta yang tak pasti yang telah kau beri selama ini. Aku tak akan mengulangnya untuk yang kedua kali. Dan teruntuk semua alasan-alasan tak bermutumu itu, terserahlah! Aku capek dan aku bosan.  

Friday 4 April 2014

Hal Paling Gila

Ada satu hal yang perlu kamu pahami ; kamu adalah hal paling gila yang pernah aku temui. Sampai aku nyaris menjadi gila karena terlalu menggilaimu. Coba lihat diluar sana. Ada berbagai macam tipe wanita menarik yang menggilaimu. Mungkin mereka lebih gila. Meski aku mengklaim diriku sebagai yang paling gila. Ditambah lagi soal statusku dengan kamu yang mempergila keadaan.  Soal masa laluku dan masa lalumu yang membuat semuanya serba gila dan mempergila semuanya.

Dan ternyata, masih banyak perasaan gila lainnya sebagai hasil menggilaimu. Aku mulai gila dengan cemburu. Aku mulai gila dan terlarut dalam rasa takut, sedih, amarah, kecewa.  Dan satu atau tambahan dua perasaan gila lain mungkin akan menjadikanku benar-benar gila.

Saat ini, kegilaan itu semakin menjadi dengan rasa cemburu luar biasa. Rasa takut kehilangan paling gila yang pernah aku rasakan. Bagaimana bisa aku bertahan dengan seseorang yang memiliki posisi jauh diatasku? Seseorang yang memiliki pesona lebih dari magnet yang berdampingan dengan wanita kecil tanpa ‘apa-apa’.  Aku sudra dan kamu brahmana. Aku bisa apa selain menangisi kondisi amat sangat signifikan ini?

Tolong baca ini baik-baik, Tuan.

Dari sekian banyaknya wanita yang menggilaimu. Aku termasuk didalamnya. Dan jika kamu ingin menyandingkan rasa gilaku dengan rasa gila kepunyaan wanita lain. Mungkin aku paling gila. Aku paling jatuh sejatuh-jatuhnya. Entah apa yang harus aku lakukan selain menikmati kegilaan ini. Aku butuh, rumah sakit jiwa. Dan itu, kamu.

Sepertinya seiring dengan tulisan ini aku sudah sah menjadi gila dengan menyebutmu rumah sakit jiwa. Padahal sudah jelas bahwa kamu ibarat brahmana yang memiliki segalanya. Mungkin akan lebih tepat jika kharisma tingkat brahmanamu itu membuat banyak wanita menjadi benar sakit jiwa. Aku harap kamupun tak ikut-ikutan menjadi gila dengan menggilai semua wanita. Dan aku harap aku menemukan obat gila paling liar. Untuk meredakan kegilaanku yang semakin liar.

Friday 13 September 2013

Di Balik Jendela


Kami berdua. Menyeruput segelas lemon tea hangat. Diiringi dengan percakapan dan gurauan manis. Sesekali matanya melihat ke arah jendela kaca berukuran raksasa. Menatap pemandangan sudut-sudut kota yang terlihat buram karna diguyur air hujan. 
"Sayang". Ucapnya.
"Ya?" jawabku.
"Aku pengen nanti kita punya rumah di tempat sejuk dan berkabut"
"Kayak Forks gitu?"
"Forks? Garpu?." Tanyanya dengan raut muka keheranan.
"Bukan sayang.. itu salah satu village di Amerika. Yang difilm Twilight itu loh" 
"Oww.. Aku kan gak pernah nonton Twilight"
"Padahal kan filmnya seru. Ada Robert Pattinsonnya." 
"Oh.. kenapa memangnya?"     
"Dia ganteng dan cool banget!." Jawabku dengan penuh semangat.
Dengan air muka sedikit kesal dia menjawab "Gantengan juga aku." Aku sedikit tersenyum simpul. "Iyaa deh, kamu yang paling ganteng. Oke, kembali ke topik. Jadi kenapa pengen punya rumah didaerah sejuk dan berkabut?"
"Berseni. Aku bisa melukis dengan tenang. Dan pasti penuh dengan inspirasi." 
"Oww.. begitu. Jadi nanti kamu mau melukis aku?"
Dia tersenyum. "Sekarang juga boleh.." Pipiku memerah. Aku menyeruput lemon tea hangat yang hampir dingin. Lalu aku melihatnya lagi sedang menatap keluar sana. Pemandangan yang semakin buram dibalik jendela yang berembun.

Bima. Namanya mirip dengan galaksi yang kita tempati; Bima Sakti. Tapi, nama kepanjangannya bukan sakti. Dia tak memiliki nama akhir. Hanya Bima. Seorang lelaki yang nyaris sempurna untuk aku yang tidak sempurna. Kami adalah korban dari peristiwa sahabat jadi cinta. Meski saat ini status aku dan Bima berpacaran tapi kami tetap menjalin persahabatan didalam hubungan spesial kami. Dan hubungan itu telah berlangsung 3 tahun menuju 4 tahun. 
Dia masih membiarkan matanya tertuju pada pemandangan buram didepannya. Sementara aku sibuk memerhatikan detail-detail wajahnya yang indah. Dia tampan, senyumnya manis. Hidungnya sedikit mancung mendekati besar. Sama besar dengan keinginannya menjadi pelukis kondang yang profesional. Dan aku adalah pecinta paling setia terhadap semua karyanya. Aku selalu membayangkan jika suatu hari nanti kami dapat meraih semua mimpi yang telah kami ukir. Menjadi manusia dengan impian-impiannya yang menjadi nyata. Siapa yang tidak bahagia?

Aku menyeruput lemon tea yang kini telah menjadi benar-benar dingin. Bima mengalihkan pandangannya kepadaku. Menatapku lekat-lekat. Aku sedikit salah tingkah tapi aku berusaha menutupinya.
"Sayang, lemon teanya udah dingin. Minum gih nanti gaenak." Ucapku santai. Dia tersenyum, sedikit cengegesan. "Kamu lucu." ucapnya singkat. "Lucu?." Tanyaku heran. "Iya, kamu gak bisa nutupin kalo lagi salah tingkah, sayang. Kita udah hampir 4 tahun sama-sama. Jadi.." sebelum Bima melanjutkan aku memotong kalimatnya "Jadi.. aku udah kenal kamu." Gelak tawa kecil terdengar renyah ditelinga kami. Rasanya semakin hangat. Dia menyeruput teh lemonnya. Dan lagi.. dia menatap ke arahku. Kali ini sedikit lebih serius.
"Alia.." sahutnya sedikit lirih.
"Kenapa sayang?"
"Maafin aku"
"Maaf kenapa?"
"Aku belum bisa bahagiain kamu sepenuhnya"
Aku tersenyum. Menyimpan sedikit jeda diantara percakapan kami yang mulai intim. "Kamu gak perlu minta maaf, sayang." ucapku melanjutkan. Dia terdiam sedikit menunduk. Kedua tangannya menjulur diatas meja. "Aku bahagia sama kamu. Dan dengan keadaan seperti inipun aku bahagia." Aku memegang erat kedua tangannya.
Sekarang dia meluruskan pandangannya. Membalas genggamanku dengan sangat erat.
"I love you"
"I love you too." Moment ini sejujurnya sedikit mengharukan. Tapi aku tak ingin ada air mata didalam pertemuan kami. Aku dan Bima menikmati waktu masing-masing saat ini. Termenung sesaat. Aku melihat ke arah jendela. Menikmati hujan dan keheningan sementara. Detik jam terus bergulir, keadaan semakin membeku. Sudah lima belas menit kami mengunci pembicaraan. Sampai akhirnya aku melihat bibirnya melontarkan sebuah kalimat.
"Bisakah kamu menutup matamu sebentar, Tuan Putri?" Ucapnya hangat. Mencairkan keadaan yang sempat membeku.
"Untuk apa?"
"Just close your eyes, honey"
"Hmm.. well.." Aku menutup kedua mataku.
"But, first.. you must promise me that you won't cheating"
"Iya sayaang." Aku masih menutup mataku. Pikiranku bekerja. Menerka-nerka apa yang hendak dilakukan oleh Bima. Tapi aku tetap pasrah pada keadaan sambil menunggunya mengucapkan aba-aba konfirmasi untuk acara pembukaan kedua mata.

Udara dingin semakin terasa. Ini pasti karena angin yang masuk melalui ventilasi diatas jendela sana. Aku memeluk badanku dengan kedua tangan. Suara rintik hujan menghiasi pendengaranku sehingga suara kasrak-kusruk yang ditimbulkan dari Bima tidak terdengar dengan jelas. Aku semakin penasaran dan menerka-nerka. Tapi aku pasrah saja. Sampai akhirnya..."Now, open your eyes." Mulutku sedikit ternganga. Mataku dengan jelas melihat pemandangan paling mengharukan yang pernah kulihat. Lukisan dibalik kaca dalam yang berembun. Menggambarkan seorang pria yang sedang mempersembahkan sebuah cincin kepada wanita  yang duduk didepannya. Selagi aku tertegun dengan lukisan instan yang mengagumkan itu. Tiba-tiba aku mendapati Bima berlutut dibawahku, mempersembahkan sebuah cincin persis seperti gambar yang baru saja dia lukis di jendela kaca yang berembun sambil berkata "Will you marry me?." Terharu. Aku menitikkan air mata dengan satu tangan menutup mulutku yang sedikit menganga. Sebuah anggukan mantap dariku menandai jawaban konfirmasi untuknya.
Lalu Bima meraih tanganku dan memasukkan sebuah cincin emas putih dengan bagian permata cantik ditengahnya ke dalam jari manisku. Lalu aku memeluknya. Masih dengan berlinang air mata. Bima membalas pelukanku dan mengusap jejak air mata di pipiku. 
"Jadi, kapan kita akan menikah?."
"Secepatnya." Jawabku.
Begitulah sore itu berjalan. Dibalik jendela yang berembun. Dengan hujan dan juga cinta.

Sunday 8 September 2013

You Make My Dream Comes True [Video]


Gak sengaja bikin ini. Awalnya karna kangen sama pacar. Jadi aja gini. 
Ahaha just for fun! :D

Sunday 18 August 2013

Cinta Tak Beralasan

  Diawali dengan cerita-cerita sederhana melalui pesan singkat. Lalu menjadi kebiasaan rutin yang sering kami lakukan. Kini, dia adalah tempat curahan hatiku. Semakin hari kegiatan berbagi cerita yang sering kami lakukan berubah menjadi kedekatan yang tak biasa. Awalnya aku bersih keras menyangkal perasaan yang tidak biasa ini menjadi biasa saja. Karna aku tau, dia hanya menganggapku sebagai teman. Aku memendam dan terus mengelak perasaanku sampai suatu hari aku tersadar bahwa aku benar menyimpan perasaan yang tidak biasa;cinta.

  Aku tak berani mengungkapkan perasaanku. Aku hanya membuatnya mengalir seperti air. Bercerita satu sama lain disetiap malamku dengannya, tetap terjaga diatas perasaan yang tak biasa. Terkadang aku ingin sekali memberitahunya tentang perasaanku. Tapi, aku takut semuanya menjadi berjarak. Aku takut dia tak memiliki perasaan yang sama.

  Berbulan-bulan setelah aku mengetahui pasti mengenai perasaanku, aku dan dia tetap sama. Dalam rutinitas yang sama. Dalam status yang sama;teman. Perasaanku semakin tak menentu. Aku hanya bisa mengungkapkannya diatas kertas putih dan membacanya sendirian. Miris. Lama kelamaan dalam keadaan yang tetap tak berubah. Aku terbiasa dengan memendam. Aku tersadar bahwa yang terbaik untuk kami adalah hanya menjadi teman. Dan aku hanya bisa menerima kenyataan. 

  Suatu saat, hubungan kami merenggang. Entah dengan alasan apa, kami menjauh. Aku membiarkan moment ini untuk memulihkan perasaanku menjadi biasa saja. Sampai pada akhirnya aku bertemu dengan sosok pria lain yang kini menjadi pangeran dalam hidupku;Angga. Aku sama sekali tak mengira bahwa Angga akan datang ke kehidupanku. Diluar penalaran dan juga perhitunganku. Aku masih tidak percaya akan sosoknya yang kini menjadi nyata dihadapanku. Sepertinya, kata demi kata tak mampu mengungkapkan apa yang aku rasakan. Seperti cinta yang tak beralasan, aku tak bisa menjelaskan. Yang aku tahu, aku mencintai sosoknya yang baru. Aku mencintai Angga tanpa ingin mensia-siakannya.

Friday 16 August 2013

Kaangeeen!!

''Aku kaangeen!!'' teriakku melepas emosi yang sudah tak tertahan sedari tadi. Aku kangen cara dia menatapku. Cara dia mengajakku bercanda, bertanya dan memperhatikanku. Rasanya aku ingin segera bertemu dan memeluknya lama-lama. Menikmati segera kerinduan yang sedang terpendam meski hanya beberapa minggu. Tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun. Ini bukan tulisan pleonasme tapi mungkin perasaanku saja yang hiperbola. Tapi ini serius, aku sudah tidak sabar untuk dapat mengenggam jemari-jemarinya dengan erat. Menatap matanya lama-lama. Mendengar tawa khasnya. Dan memperhatikan setiap gerak-gerik tubuhnya.

Rasanya, saat rindu melanda seperti ini. Bayangannya tak bisa lepas dari pikiranku. Seperti magnet. Yang kedua kutubnya selalu bersatu. Meski aku sudah berusaha mengalihkan perasaanku dengan melakukan hal lain. Tetap saja, sosokmu masih nakal mempermainkan otakku. Rasanya aku gemas sekali untuk dapat segera melihatmu.

Tapi, malam ini. Aku hanya bisa menikmati kerinduanku yang masih menggebu karna belum dapat bertemu. Tapi tak apa, selama aku masih bisa mengirim pesan teks berisi kerinduan dan kata-kata manis. Semuanya masih terasa adil dan protagonis. Lagi pula pertemuan yang ditunda karna jarak dan waktu lebih bersensasi dibanding rindu lalu langsung bertemu.

Aku yakin pertemuan yang selalu tertahan secara berulang-ulang. Akan menjadi pertemuan setiap pagiku denganmu nanti. Saat kita terbangun dipagi hari. Dibawah atap yang sama. Diatas rindu yang sama. Aku bisa menanti sampai saatnya tiba.