Disudut-sudut bangku sekolah ia
terlihat berdiam diri. Meredam sunyi yang mengatur keadaan semakin hening.
Seperti hampa, seperti tak ada kehidupan. Namun sosoknya yang begitu memesona
tetap membuat suasana yang seperti batu menjadi tetap berwarna. Ya, dia begitu
memikat. Mengalihkan setiap kondisi tertuju pada satu objek, Julliard. Ia
tertunduk lesu, rambutnya yang terurai panjang dengan poni di depan dan tatapan
mata yang kosong membuatku semakin yakin
gadis itu sedang ditimpa masalah. Aku mencoba menapakkan kakiku
kearahnya namun perasaan ragu mengguncang diriku.
Apa yang harus aku lakukan ?
menyapanya? Hanya menyapa? Ah terlalu konyol untuk aku yang tak pernah
berbicara dengan gadis itu sebelumnya. Namun, rasa penasaranku terhadap gadis
itu semakin menguat. Dia terlalu memikat rasa keingintahuanku. Tanpa berpikir
panjang, aku memutuskan untuk menghampirinya.
“Hai” sapaku. Tak ada jawaban
ataupun sedikit rintihan. Tapi aku takkan menyerah.
“Hai, aku Diego dari kelas IPA 3,
kamu Julliard kan ?” dia tetap tak menjawab. Aku pikir kehadiranku tak mempengaruhi suasananya
yang begitu sunyi
“Julliard, 12 IPA 1. Pendiam dan
misterius” . Namun, dia tetap pada kebisuannya. Aku tetap mencoba dan terus
mencoba. Rasa ingin tahuku semakin menggebu-gebu
“Julliard, 12 IPA 1. Yang selalu
memakai ransel hijau. Yang selalu memesan jus melon di kantin dan yang selalu
mengisi waktu istirahat di........” Aku sengaja untuk tidak melanjutkan
kalimatku. Siapa tahu, dia penasaran dan
balik bertanya lalu... Sebelum aku sempat melanjutkan gumamanku akhirnya
terdengar rintihan suara dari mulutnya
“Dimana?” tanya Julliard sambil
menatap ke arahku. Ini pertama kalinya aku melihat sosoknya sedekat ini. Dia
benar-benar begitu memesona. Cantik, memikat namun menyimpan sejuta pertanyaan.
Dia begitu berbeda dari gadis-gadis lain. Aku seperti tersihir olehnya.
“Maaf?” Sapanya lirih
membangunkanku dari pesona yang telah ia buat. Aku sedikit tersentak, namun aku
berusaha mengendalikan suasana.
“Ya?” tanyaku enteng
“Dimana?” sahut ia kembali
Aku yang tiba-tiba canggung
membuatku terlihat sedikit ngaco dan salah tingkah ketika menjawab
pertanyaannya. “Dimana apanya?”
“Ah, lupakan” Ia berdiri, merapikan
pakaiannya yang terlihat kusut lalu langkahnya mengikuti koridor sekolah terus
menelusuri lorong-lorong sampai kakinya beranjak hampir ke arah gerbang lalu
aku.. mengejarnya sambil berteriak “Hei tunggu!”
Julliard menghentikan langkahnya
tanpa mengarahkan pandangannya ke arahku.
“Masih hujan, kenapa kau
terburu-buru pergi?”
“Aku rasa ini bukan urusanmu”
Jawaban Julliard membuatku tak
bisa berkata apa-apa. Aku melihatnya meneruskan langkah kakinya keluar, melawan
rintik-rintik tajam yang cukup deras sehingga dalam beberapa detik saja,
tubuhnya basah kuyup seketika. Aku tak tega melihatnya, aku menghampirinya lagi
sambil menenteng tasku diatas kepala.
“Julliard” Ucapku menghentikan langkah kami.
Posisiku berada tepat dibelakang tubuh Julliard
“Aku suka hujan” sahut Julliard
“ngg....”
Sebelum aku sempat melanjutkan kalimatku tiba-tiba sebuah mobil Mercedes Benz
berhenti tepat didepan kami. Julliard meneruskan langkahnya, masuk ke dalam mobil
berwarna hitam legam itu, menutup pintunya tanpa melihat ke arahku. Sesaat,
kulihat rodanya mulai berputar, ia pergi. Dari sini aku masih memerhatikan
derap laju mobil yang ditumpangi Julliard sampai dititik kejauhan dimana aku
tak dapat melihatnya lagi.
***
Aku mencari-cari sosok Julliard
dari tempat-tempat yang senang Ia kunjungi. Aku menyisir pandangan dari setiap
meja kantin yang dipenuhi oleh siswa lain namun aku tak menemukannya. Tak kenal
putus asa langkahku menuju ke arah perpustakaan. Mengamati setiap pasang mata
yang datang. Aku menyeka dengan cepat pemandangan rak-rak buku didepanku. Tak
puas dengan hasilnya, aku menuju ke ruang membaca siswa. Namun yang dihasilkan
tetap nihil. Seketika aku teringat pada tempat dimana kami bertemu dan
berbicara untuk pertama kalinya, sudut sekolah.
Aku mempercepat langkahku.
Secepat yang aku bisa, ada rasa yang membuatku begitu ingin menemuinya. Deru
langkahku semakin cepat diiringi gerak-gerikku yang memerhatikan kanan dan
kiri, siapa tahu dia sedang berjalan dilorong-lorong sekolah. Sampai akhirnya
aku tiba di 10 meter sebelum aku melihat sosoknya yang sedang duduk dan terdiam
di sudut sekolah. Tebakanku tepat. Perlahan aku mulai mendekatinya lalu duduk
disampingya.
Seperti biasa , Ia tidak
melepaskan pandangannya ke arahku. Aku memerhatikan setiap detail inci dari
wajahnya. Namun.. aku melihat pipinya basah, matanya berkaca-kaca, dipangkuan
roknya terdapat sebuah kertas. Aku ragu-ragu
untuk mengambilnya. Namun rasa penasaranku membuatku berani untuk mengambil
kertas itu. Tak ada reaksi, aku pikir tak ada masalah. Perlahan akupun
membacanya.
“I
Jason Wick Alcraft, take you Julliard to be my wife, my partner in life and my
one true love. I will cherish our union and love you more each day than I did
the day before. I will trust you and respect you, laugh with you and cry with
you, loving you faithfully through good times and bad, regardless of the
obstacles we may face together. I give you my hand, my heart, and my love, from
this day forward for as long as we both shall live.” -Jason Alcraft
Disudut ujung kertas bagian bawah
juga tertulis
“In memoriam, R.I.P Jason Wick Alcraft”
-Julliard, loving you as always”
“Jadi ini yang membuat sosoknya
pendiam dan misterius?” Gumamku dalam hati.
Selesai. Paragraf menggantung. Karakterisasi.
Listarani