Sunday, 11 November 2012

Julliard


Disudut-sudut bangku sekolah ia terlihat berdiam diri. Meredam sunyi yang mengatur keadaan semakin hening. Seperti hampa, seperti tak ada kehidupan. Namun sosoknya yang begitu memesona tetap membuat suasana yang seperti batu menjadi tetap berwarna. Ya, dia begitu memikat. Mengalihkan setiap kondisi tertuju pada satu objek, Julliard. Ia tertunduk lesu, rambutnya yang terurai panjang dengan poni di depan dan tatapan mata yang kosong membuatku semakin yakin  gadis itu sedang ditimpa masalah. Aku mencoba menapakkan kakiku kearahnya namun perasaan ragu mengguncang diriku.

Apa yang harus aku lakukan ? menyapanya? Hanya menyapa? Ah terlalu konyol untuk aku yang tak pernah berbicara dengan gadis itu sebelumnya. Namun, rasa penasaranku terhadap gadis itu semakin menguat. Dia terlalu memikat rasa keingintahuanku. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk menghampirinya.

“Hai” sapaku. Tak ada jawaban ataupun sedikit rintihan. Tapi aku takkan menyerah.
“Hai, aku Diego dari kelas IPA 3, kamu Julliard kan ?” dia tetap tak menjawab. Aku  pikir kehadiranku tak mempengaruhi suasananya yang begitu sunyi
“Julliard, 12 IPA 1. Pendiam dan misterius” . Namun, dia tetap pada kebisuannya. Aku tetap mencoba dan terus mencoba. Rasa ingin tahuku semakin menggebu-gebu
“Julliard, 12 IPA 1. Yang selalu memakai ransel hijau. Yang selalu memesan jus melon di kantin dan yang selalu mengisi waktu istirahat di........” Aku sengaja untuk tidak melanjutkan kalimatku.  Siapa tahu, dia penasaran dan balik bertanya lalu... Sebelum aku sempat melanjutkan gumamanku akhirnya terdengar rintihan suara dari mulutnya

“Dimana?” tanya Julliard sambil menatap ke arahku. Ini pertama kalinya aku melihat sosoknya sedekat ini. Dia benar-benar begitu memesona. Cantik, memikat namun menyimpan sejuta pertanyaan. Dia begitu berbeda dari gadis-gadis lain. Aku seperti tersihir olehnya.
“Maaf?” Sapanya lirih membangunkanku dari pesona yang telah ia buat. Aku sedikit tersentak, namun aku berusaha mengendalikan suasana.
“Ya?” tanyaku enteng
“Dimana?” sahut ia kembali
Aku yang tiba-tiba canggung membuatku terlihat sedikit ngaco dan salah tingkah ketika menjawab pertanyaannya. “Dimana apanya?”
“Ah, lupakan” Ia berdiri, merapikan pakaiannya yang terlihat kusut lalu langkahnya mengikuti koridor sekolah terus menelusuri lorong-lorong sampai kakinya beranjak hampir ke arah gerbang lalu aku.. mengejarnya sambil berteriak “Hei tunggu!”
Julliard menghentikan langkahnya tanpa mengarahkan pandangannya ke arahku.
“Masih hujan, kenapa kau terburu-buru pergi?”
“Aku rasa ini bukan urusanmu”

Jawaban Julliard membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku melihatnya meneruskan langkah kakinya keluar, melawan rintik-rintik tajam yang cukup deras sehingga dalam beberapa detik saja, tubuhnya basah kuyup seketika. Aku tak tega melihatnya, aku menghampirinya lagi sambil menenteng tasku diatas kepala.
“Julliard” Ucapku menghentikan langkah kami. Posisiku berada tepat dibelakang tubuh Julliard
“Aku suka hujan” sahut Julliard
“ngg....”
Sebelum aku sempat melanjutkan kalimatku tiba-tiba sebuah mobil Mercedes Benz berhenti tepat didepan kami. Julliard meneruskan langkahnya, masuk ke dalam mobil berwarna hitam legam itu, menutup pintunya tanpa melihat ke arahku. Sesaat, kulihat rodanya mulai berputar, ia pergi. Dari sini aku masih memerhatikan derap laju mobil yang ditumpangi Julliard sampai dititik kejauhan dimana aku tak dapat melihatnya lagi.

 ***

Aku mencari-cari sosok Julliard dari tempat-tempat yang senang Ia kunjungi. Aku menyisir pandangan dari setiap meja kantin yang dipenuhi oleh siswa lain namun aku tak menemukannya. Tak kenal putus asa langkahku menuju ke arah perpustakaan. Mengamati setiap pasang mata yang datang. Aku menyeka dengan cepat pemandangan rak-rak buku didepanku. Tak puas dengan hasilnya, aku menuju ke ruang membaca siswa. Namun yang dihasilkan tetap nihil. Seketika aku teringat pada tempat dimana kami bertemu dan berbicara untuk pertama kalinya, sudut sekolah.

Aku mempercepat langkahku. Secepat yang aku bisa, ada rasa yang membuatku begitu ingin menemuinya. Deru langkahku semakin cepat diiringi gerak-gerikku yang memerhatikan kanan dan kiri, siapa tahu dia sedang berjalan dilorong-lorong sekolah. Sampai akhirnya aku tiba di 10 meter sebelum aku melihat sosoknya yang sedang duduk dan terdiam di sudut sekolah. Tebakanku tepat. Perlahan aku mulai mendekatinya lalu duduk disampingya.

Seperti biasa , Ia tidak melepaskan pandangannya ke arahku. Aku memerhatikan setiap detail inci dari wajahnya. Namun.. aku melihat pipinya basah, matanya berkaca-kaca, dipangkuan roknya terdapat sebuah kertas.  Aku ragu-ragu untuk mengambilnya. Namun rasa penasaranku membuatku berani untuk mengambil kertas itu. Tak ada reaksi, aku pikir tak ada masalah. Perlahan akupun membacanya.

“I Jason Wick Alcraft, take you Julliard to be my wife, my partner in life and my one true love. I will cherish our union and love you more each day than I did the day before. I will trust you and respect you, laugh with you and cry with you, loving you faithfully through good times and bad, regardless of the obstacles we may face together. I give you my hand, my heart, and my love, from this day forward for as long as we both shall live.” -Jason Alcraft

Disudut ujung kertas bagian bawah juga tertulis

“In memoriam, R.I.P Jason Wick Alcraft”
-Julliard, loving you as always”

“Jadi ini yang membuat sosoknya pendiam dan misterius?” Gumamku dalam hati.

Selesai. Paragraf menggantung. Karakterisasi.
Listarani

No comments:

Post a Comment